2. Kau & Hujan
Aku selalu
bertanya-tanya. Mengapa setiap rintik air langit menyapa bumi kau hadir dan
menyapa. Seperti memang waktu kita berjumpa saat langit menangis. Namun aku
yang buta karena cinta tak begitu memikirkan kebetulan ini.
Kita berjumpa di pagi
kelabu, saat hujan melanda Jakarta 3 tahun lalu, menyebabkan banjir yang tak
mengampuni rumah-rumah kumuh dan menghanyutkannya seperti sampah. Itu hari yang
berat. Kos-kosan yang menjadi rumah peristirahatanku saat pulang kantor tak luput
dari kunjungan lumpur dan air keruh yang tak juga surut higga malam menjelang. Aku
yang hanya mengenakan pakaian kantor dengan rok minim harus mengungsi dan
merelakan barang-barangku yang dilahap banjir. Aku bersama pengungsi lain,
berdesakan menyelamatkan diri dari dinginnya air hujan di bawah atap halte yang penuh sesak.
Diantara rasa dingin,
lapar, dan lelah yang akut kau hadir dengan senyuman secerah mentari.
Menghangatkanku dengan segelas kopi manis ditanganmu. Perjumpaan yang sederhana.
Kau yang juga mengungsi memberikan banyak warna di bawah hujan yang semakin
deras. Caramu tersenyum dan bercerita membuatku sadar, cinta pandangan pertama
bukalah hal yang mustahil. Aku jatuh hati padamu, detik itu, saat itu.
Sejak pertemuan pertama
itu, kita selalu berjumpa. Dikebetulan yang selalu melingkupi. Selalu ketika
hari hujan, di halte, di supermarket, di restoran, di jalan, di kereta, dan di
banyak tempat yang menjadi saksi kebetulan jumpa kita. Dan selalu hujan.
Dan kini, saat ini aku
menunggu mu. Di bawah atap yang sama dengan 3 tahun yang lalu, berharap
kebetulan itu masih menyertai. Dan aku pun berharap status kita bukan lagi
hanya kenalan atau teman jumpa saat hujan melanda. Apakah bisa?
Dikejauhan kulihat
dirimu dengan tergesa-gesa menghindari tetesan air yang tak mau kompromi,
membasahi jas hitammu dengan ganas. Aku tersenyum kecil melihatmu lagi, dan
berterima kasih atas kebetulan yang kesekian kalinya.
Kau berlari, dan
menghampiri gadis manis yang duduk tak jauh dariku. Dengan senyum hangatmu kau
meminta maaf padanya, terlihat bahagia. Dan dia pun bahagia. Aku hanya bisa
melihat. Apakah ini jawaban penantianku?
Akhirnya kau sadar
bahwa ada aku disekitarmu, dan dengan senyum yang masih sehangat dulu kau
menghampiriku. Menyapa dan bergurau seperti yang selalu kau lakukan. Dan dia
menghampiri, bertanya siapa aku. Aku takut. Aku tak sepercaya diri seperti
biasanya. Aku takut kau bukan lagi mentari ditiap hujan menyapaku. Aku takut
kau bukan kebetulan yang mejadi takdirku. Dan dengan keberanian yang seujung kuku
aku memperkenalkan diri sebagai temanmu.
Kau tersenyum kecil
padanya. Dan menjawab hal yang sama padanya. Sakit. Kaki ku ragu untuk tetap
tinggal. Dan aku pun memutuskan untuk mundur dan menjauh. Menjauh dari segala
tentang dirinya, dan hujan.
Hujan membawa sakitku
jauh ke dasar. Dan kuharap aku mampu utuk kuat. Terasa memalukan karena
berharap labih. Hanya karena dia terlalu perhatian membuatku lupa diri dan
meruntuhkan tembok pertahananku. Dan sekarang aku seperti ratu yang tak berdaya
dalam bentengku sendiri.
Seminggu berlalu, hujan
mulai menghilang. Di pagi hari matahari mulai terbit dengan ramah. Namun sore
ini ternyata langit masih ingin bersedih. Dan disni aku di bawah atap yang sama
kembali berjumpa denganmu. Kamu yang terlihat lelah masih tersenyum cerah.
Menanyakan kabar dan hal-hal tak penting lainnnya. Aku mencoba bertahan untuk
tidak jatuh lagi padamu. Aku ingin pergi, tapi hujan menghalangi. Dan kau pun
berkata “Hai, jika aku datang ke rumahmu dengan membawa orang tuaku, dan
memintamu menjadi wanita terakhirku, akankah kau menerimaku?”