Selasa, 21 Juni 2016

Prosa 2. KAU & HUJAN

2. Kau & Hujan

Aku selalu bertanya-tanya. Mengapa setiap rintik air langit menyapa bumi kau hadir dan menyapa. Seperti memang waktu kita berjumpa saat langit menangis. Namun aku yang buta karena cinta tak begitu memikirkan kebetulan ini.
Kita berjumpa di pagi kelabu, saat hujan melanda Jakarta 3 tahun lalu, menyebabkan banjir yang tak mengampuni rumah-rumah kumuh dan menghanyutkannya seperti sampah. Itu hari yang berat. Kos-kosan yang menjadi rumah peristirahatanku saat pulang kantor tak luput dari kunjungan lumpur dan air keruh yang tak juga surut higga malam menjelang. Aku yang hanya mengenakan pakaian kantor dengan rok minim harus mengungsi dan merelakan barang-barangku yang dilahap banjir. Aku bersama pengungsi lain, berdesakan menyelamatkan diri dari dinginnya air hujan di bawah atap halte  yang penuh sesak.
Diantara rasa dingin, lapar, dan lelah yang akut kau hadir dengan senyuman secerah mentari. Menghangatkanku dengan segelas kopi manis ditanganmu. Perjumpaan yang sederhana. Kau yang juga mengungsi memberikan banyak warna di bawah hujan yang semakin deras. Caramu tersenyum dan bercerita membuatku sadar, cinta pandangan pertama bukalah hal yang mustahil. Aku jatuh hati padamu, detik itu, saat itu.
Sejak pertemuan pertama itu, kita selalu berjumpa. Dikebetulan yang selalu melingkupi. Selalu ketika hari hujan, di halte, di supermarket, di restoran, di jalan, di kereta, dan di banyak tempat yang menjadi saksi kebetulan jumpa kita. Dan selalu hujan.
Dan kini, saat ini aku menunggu mu. Di bawah atap yang sama dengan 3 tahun yang lalu, berharap kebetulan itu masih menyertai. Dan aku pun berharap status kita bukan lagi hanya kenalan atau teman jumpa saat hujan melanda. Apakah bisa?
Dikejauhan kulihat dirimu dengan tergesa-gesa menghindari tetesan air yang tak mau kompromi, membasahi jas hitammu dengan ganas. Aku tersenyum kecil melihatmu lagi, dan berterima kasih atas kebetulan yang kesekian kalinya.
Kau berlari, dan menghampiri gadis manis yang duduk tak jauh dariku. Dengan senyum hangatmu kau meminta maaf padanya, terlihat bahagia. Dan dia pun bahagia. Aku hanya bisa melihat. Apakah ini jawaban penantianku?
Akhirnya kau sadar bahwa ada aku disekitarmu, dan dengan senyum yang masih sehangat dulu kau menghampiriku. Menyapa dan bergurau seperti yang selalu kau lakukan. Dan dia menghampiri, bertanya siapa aku. Aku takut. Aku tak sepercaya diri seperti biasanya. Aku takut kau bukan lagi mentari ditiap hujan menyapaku. Aku takut kau bukan kebetulan yang mejadi takdirku. Dan dengan keberanian yang seujung kuku aku memperkenalkan diri sebagai temanmu.
Kau tersenyum kecil padanya. Dan menjawab hal yang sama padanya. Sakit. Kaki ku ragu untuk tetap tinggal. Dan aku pun memutuskan untuk mundur dan menjauh. Menjauh dari segala tentang dirinya, dan hujan.
Hujan membawa sakitku jauh ke dasar. Dan kuharap aku mampu utuk kuat. Terasa memalukan karena berharap labih. Hanya karena dia terlalu perhatian membuatku lupa diri dan meruntuhkan tembok pertahananku. Dan sekarang aku seperti ratu yang tak berdaya dalam bentengku sendiri.
Seminggu berlalu, hujan mulai menghilang. Di pagi hari matahari mulai terbit dengan ramah. Namun sore ini ternyata langit masih ingin bersedih. Dan disni aku di bawah atap yang sama kembali berjumpa denganmu. Kamu yang terlihat lelah masih tersenyum cerah. Menanyakan kabar dan hal-hal tak penting lainnnya. Aku mencoba bertahan untuk tidak jatuh lagi padamu. Aku ingin pergi, tapi hujan menghalangi. Dan kau pun berkata “Hai, jika aku datang ke rumahmu dengan membawa orang tuaku, dan memintamu menjadi wanita terakhirku, akankah kau menerimaku?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar