GEMERCIK CINTA DALAM
MITOS
Chapter 2.
“ Ayu, mama dan papa akan
pergi kerumah nenek besok dan menginap disana selama dua hari karena ada
pertemuan keluarga ” kata mama ketika makan malam.
“ Jadi, aku dan Mika di
rumah berdua? Apa kami tidak bisa ikut juga? ” tanyaku.
“ Sebenarnya kalian boleh
ikut, tapi Mika ada ulangan besok, ya kan Mika? ”
“ Iya kak. Mika nggak mau
nilai Mika turun kalau nggak ikut ulangan ” jawab Mika.
Sejak
masuk SMP Mika tidak pernah lagi membuang waktunya untuk bermain. Mungkin
karena rasa bersaingnya dalam berprestasi mulai muncul. Dia selalu menikuti
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pelajaran kecuali olahraga, karena
badannya agak lemah. Mika memang pintar
dan selalu mendapat juara di sekolahnya dan lagi dia ketua OSIS, mana mungkin
dia mau merelakan satu ulangan terlewati.
“ Hem, kalau gitu jangan
protes apapun yang aku masak“
“ Asal bukan makanan yang
menyakitkan aku tidak akan protes ” jawabnya cuek.
“ Apa maksudmu
‘menyakitkan’ hah?! ”
“ Kakak pasti tahu apa
yang aku maksud, ya kan ma? ”
“ Ya begitulah ” kata mama
sambil mengalihkan pandangannya.
“ Huh!! Aku tahu..aku
tahu. aku tidak akan membuat resep baru ” kataku kesal. Padahal aku suka
membuat makanan-makanan baru, walau kadang harus masuk WC sepuluh kali sehari
karena memakannya.
“ Oke jadi sudah
diputuskan kalian berdua jaga rumah sampai mama dan papa kembali. Papa akan
minta Dylan menginap disini untuk menemani kalian, dia pasti tidak akan
menolak” kata papa yakin.
” Yee!!! Asyik! Aku mau minta tolong buat PR” Mika
berteriak senang.
APA??!! Ya Tuhan....aku tidak mau.
“ Papa,
kenapa Dylan harus menginap disini sih? Aku dan Mika kan sudah cukup”
“ Kalau misalnya ada
perampok atau pencuri Dylan pasti bisa melindungi kalian. Kalau hanya kalian
berdua mana bisa, kalian kan perempuan” jawab papa.
“ ya kak. Lagi pula aku
juga mau belajar sama kak Dylan” Mika ikut menimpali.
“ Kamu tidak perlu khawatir
tentang Dylan. Dia kan anak baik, mama dan papa percaya padanya. Jadi kamu
tidak usah cemas, oke?” kata mama.
“ Oke deh ” akhirnya mau
tidak mau aku harus setuju, walau pun jantung ini berdebar kencang nantinya.
Pagi itu aku bangun dengan
malas, karena suara-suara yang mengganggu itu. Aku turun dari kamarku yang ada
di lantai dua untuk melihat apa yang terjadi di bawah.
“ Selamat pagi, Ayu!
Rambutmu naik tuh, ha..ha..ha” tawa Dylan mengagetkanku.
“ sedang apa kau disini
pagi-pagi begini? ”
“ Lho om dan tante kan mau
pergi jadi aku datang bantu-bantu dong. Laipula om memintaku untuk menjaga
kalian berdua saat mereka pergi” jelasnya. Membuatku tersadar seketika.
“ Apa?? Jadi hari ini papa
dan mama pergi? Aduh kenapa aku lupa sih?” aku segera membantu papa
beres-beres.
“ Dasar kau ini! Dylan
saja ingat” kata mama yang sedang mengengemas barang sambil geleng-geleng
kepala.
“ Iya nih, kakak gimana
sih?” kata Mika menimpali.
“ Maaf”
“ Oke semuanya sudah
beres. Kami pergi dulu jaga diri baik-baik ya” kata papa sambil memeluk kami
berdua.
“ Dylan tolong jaga mereka
berdua, om percaya padamu” kata papa sambil menepuk pundak Dylan.
“ Serahkan saja padaku”
jawab Dylan penuh keyakinan.
“ oke anak-anak kami
berangkat dulu, nanti kami bawakan oleh-oleh” kata papa sambil melambaikan
tangan.
“ Bye-bye”
Aku memandang mobil papa
dan mama hingga hilang di belokkan jalan.
“ Jangan sedih gitu dong, kan
masih ada aku ” Dylan menepuk bahuku. Membuatku sedikit kaget.
“ Siapa yang sedih? Mereka
kan cuma pergi dua hari” aku berlalu meninggalkan Dylan.
Setelah
keberangkatan papa dan mama ke rumah nenek, aku dan Mika bersiap ke sekolah.
Dylan pun kembali ke rumahnya. Seperti biasa Mika selalu berangkat lebih dulu,
karena dia kan ketua OSIS jadi harus datang pagi. Dan seperti hari-hari yang
biasa kulalui, aku selalu berangkat bersama Dylan.
“ Bawa apaan tuh?” tanya
Dylan sambil melihat kantong yang aku bawa.
“ Buku yang ku pinjam
kemarin”
“ Oh..yang kau ceritakan
itu ya?”
“ ya” jawabku singkat.
“ Sini aku bawakan”
“ Tidak usah, aku bisa
bawa sendiri. Lagi pula berat lho”
“ kalau gitu barter. Ayu
bawakan jaketku dan aku bawa bukunya” kata Dylan sambil mengenakan jaketnya
padaku. Wajahnya dekat sekali, membuat jantungku berdegup kencang. Semoga dia
tidak mendengar degup jantungku ini.
“ Nah! Cocok sekali”
katanya sambil tersenyum lembut, membuat degup jantungku dua kali lipat lebih
kencang. Tidak boleh! jangan sampai dia tahu aku berdebar-debar karenanya.
“ Dylan..terima kasih”
kataku dengan wajah merah yang kusembunyikan di balik kerah jaket.
“ Santai saja. Kita kan
teman dari kecil dan sudah seperti saudara”
Kata-kata
itu bagai petir yang menyadarkanku bahwa kami hanya teman masa kecil yang tidak
akan pernah menjadi lebih dari itu. Dan lagi aku sudah berjanji. Aku harus
merelakannya.
Setelah
jam istirahat berbunyi, aku dan Lian pergi perpustakaan untuk mengembalikan
buku.
“ Ayu, setelah aku
pikir-pikir. Bukankah dia tidak bisa bilang suka padamu karena janji itu?” kata
Lian tiba-tiba.
“ Eh? Siapa yang kau
maksud?” tanyaku bingung.
“ Dylan. Andai Dylan
menyukaimu pun, dia tetap tidak bisa bilang kan? Karena ada janji itu”
“ Masa’ sih?” aku tak
percaya, tapi kata-kata Lian mulai membuatku berharap.
“ Ayu sampai berjanji seperti itu berarti
sebenarnya punya keinginan untuk melewati batas teman sejak kecil, kan?”
jantungku berdegup mendengar hal itu.
Tetapi karena sudah
terlanjur berjanji begitu, berarti tidak ada gunanya penasaran pada perasaanya.
Tapi kata-kata Lian mengiang di kepalaku.
To Be Continued.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar