Senin, 07 April 2014

Resensi Novel : Perahu Kertas



CINTA  DAN  PENCARIAN  DIRI

Judul Buku              : Perahu Kertas
Penulis
                   : Dee
Penerbit
                  : Bentang Pustaka,
                               Jogjakarta
Cetakan
                 : Pertama, Agustus 2009
Tebal
                     : xii + 444 halaman




Karena hanya bersama kamu, segalanya terasa dekat, segala sesuatunya ada, segala sesuatunya benar. Dan Bumi hanyalah sebutir debu di bawah telapak kaki kita
( Dee_Perahu Kertas )




Karya-karya Dewi Lestari atau yang populer dengan nama pena Dee, memang banyak mengangkat tema cinta, mulai Supernova (tiga seri), Filosofi Kopi, hingga Rectoverso. Demikian pula novel terbarunya ini yang diterbitkan pada tanggal 29 Agustus 2009, “Perahu Kertas”, masih kental tema cinta. Bedanya, novel ini bergenre populer dan menggunakan tokoh remaja yang berproses hingga menemukan kematangannya.
Karena bergenre populer, pembaca setia karya-karya Dee ketika baru memulai membaca novel ini mungkin akan sedikit merasakan hal yang agak berbeda dibandingkan saat menikmati karya Dee sebelumnya yang cenderung ''serius". Bisa dikatakan bahwa novel ini secara gaya penyajian dan alur mirip dengan chicklit atau teenlit. Akan tetapi, lambat laun pembaca akan merasakan ruh Dee dalam novel yang ditulis selama 55 hari, sambil menyepi di rumah kos untuk menyegarkan ingatannya pada dunia kampus. Dalam semua tahapan ini Dee menganggapnya sebagai sebuah prestasi sebagai penulis lintas usia. Tulisan yang reflektif, dan dalam batas-batas tertentu, bagi yang cukup akrab dengan tulisan-tulisan Dee selain karya fiksinya yang dapat ditemukan di weblognya, cukup menggambarkan ''pandangan dunia'' Dee tentang hidup, cinta, dan takdir.
Hebatnya, Dee bisa membungkus ide-ide yang sangat filosofis dan serius semacam itu melalui tokoh-tokoh remaja novel ini. Dengan dua tokoh utama bernama Kugy dan Keenan, tokoh-tokoh remaja lainnya dalam novel ini tampil dalam rentang empat tahun, dimulai saat Kugy dan Keenan memulai masa perkuliahannya di Bandung.
Kisah ini dimulai dengan Keenan, seorang remaja pria yang cerdas, artistik dan baru lulus SMA, yang selama enam tahun tinggal di Amsterdam bersama neneknya. Keenan memiliki bakat melukis yang sangat kuat, dan ia tidak punya cita-cita lain selain menjadi pelukis, tapi perjanjiannya dengan ayahnya memaksa ia meninggalkan Amsterdam dan kembali ke Indonesia untuk kuliah. Keenan diterima berkuliah di salah satu universitas di Bandung, di Fakultas Ekonomi.
Di sisi lain, ada Kugy, gadis mungil yang aneh, cuek, pengkhayal, berantakan, dan cenderug eksentrik. Sejak kecil, Kugy menggila-gilai dongeng. Tak hanya koleksi dan punya taman bacaan, ia juga senang menulis dongeng. Cita-citanya hanya satu: ingin menjadi juru dongeng. Namun Kugy sadar bahwa penulis dongeng bukanlah profesi yang meyakinkan dan mudah diterima lingkungan. Tak ingin lepas dari dunia menulis, Kugy lantas meneruskan studinya di Fakultas Sastra.
Kugy dan Keenan dipertemukan lewat pasangan Eko dan Noni. Eko adalah sepupu Keenan, sementara Noni adalah sahabat Kugy sejak kecil. Terkecuali Noni, mereka semua hijrah dari Jakarta, lalu berkuliah di universitas yang sama di Bandung. Mereka berempat akhirnya bersahabat karib.
Perkenalan Kugy dan Keenan di awal masa kuliah mereka ternyata pelan-pelan melahirkan perasaan saling mengagumi dan saling menyukai. Namun, situasinya menjadi rumit dengan fakta bahwa Kugy masih menjalin hubungan dengan Joshua, alias Ojos (panggilan yang semena-mena diciptakan oleh Kugy). Sementara Keenan saat itu dicomblangkan oleh Noni dan Eko dengan seorang kurator muda bernama Wanda. Dari titik inilah, ketegangan kisah cinta Kugy dan Keenan yang sebenarnya dimulai.
Lebih dari sekadar kisah cinta biasa, kisah Kugy dan Keenan juga menyimpan kisah pergulatan panjang pencarian diri yang otentik. Gagasan ini, jika disederhanakan dan diungkapkan dengan bahasa populer kalangan remaja, akan serupa dengan upaya untuk ''menjadi diri sendiri''. Tentang bagaimana Kugy dan Keenan merawat impian-impian, kata hati, pilihan hidup, dan cita-cita mereka, berhadapan dengan kompleks realitas hidup di lingkungannya masing-masing yang tak sederhana, dilematis, dan kadang tampak pahit.
Keenan, misalnya, digambarkan terpaksa kuliah di jurusan manajemen, sementara sejatinya dia ingin menyerahkan hidupnya di dunia kesenian. Ia harus mengikuti kehendak orang tuanya, sampai akhirnya di satu titik perjalanan kisah ini Keenan mengambil sebuah keputusan yang sangat berani: berhenti kuliah, berkomitmen mandiri secara ekonomi, dan total hidup dengan melukis.
Keteguhan Keenan dengan keputusannya ini tak bisa dilepaskan dari cerita-cerita inspiratif yang ditulis Kugy, terutama saat Kugy tengah tertekan dan kalut akibat proyek percomblangan Noni dan Eko, dan menuliskan pengalamannya dengan anak-anak miskin di pinggiran Bandung dalam kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit.
Titik penting novel ini terjadi saat Keenan memutuskan untuk menghilang dan tinggal di Ubud bersama Pak Wayan, sahabat lama ibunya, dan memulai merajut mimpinya menjadi pelukis. Di titik itu pula, pembaca akan merasakan bahwa jalinan perasaan Kugy dan Keenan terancam putus. Apalagi saat jalinan cerita ini menuturkan bahwa di Ubud Keenan terpikat dengan Luhde Laksmi, keponakan Pak Wayan. Sementara Kugy, yang baru lulus kuliah dan kemudian bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta, menjalin hubungan dengan Remi, bosnya di kantor.  Cerita yang begitu rumit. Namun, akhirnya Remi sadar bahwa hati Kugy hanya untuk Keenan, sementara Luhde juga sama, walau rasa cinta itu ada, hati Keenan hanya untuk Kugy.
Di bagian seperempat terakhir novel, pembaca akan menemukan bagian-bagian yang sangat menentukan bagi penyelesaian konflik dan keseluruhan alur kisah novel yang sebenarnya sudah lebih dulu dilansir dalam versi digital (WAP) pada April 2008. Di bagian ini, pembaca akan menemukan ''Dee yang sebenarnya'', yang menghadirkan renungan-renungan hidup yang mendalam dengan juru bicara tokoh-tokoh novel yang usianya kebanyakan masih belia. Memang, pembaca tidak akan terlalu dibebani dengan metafor-metafor berat dan refleksi filosofis yang cukup serius, seperti dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Namun, hal ini tidak mengurangi kualitas dan kedalaman refleksi Dee.
Salah satu kelebihan novel ini adalah efek adiktif yang dimilikinya. Dee sendiri menjelaskan bahwa novel ini memang mencoba mengambil semangat komik dan cerita bersambung, yang pada dasarnya berupaya menjaga rasa penasaran pembaca. Membaca Perahu Kertas, pembaca seperti akan dilayarkan ke suatu kisah yang cukup menguras emosi, cukup bernuansa eksistensial,  dan  kita akan selalu menemukan Dee dalam kepiawaiannya berfilosofi dan bermetafora dalam bercerita, menyembunyikan misi di balik diksi, dan menyematkan pesan ke dalam perasaan. Ini adalah beberapa ungkapan yang menyematkan pesan kehidupan dan perlu kita renungkan :
Mungkin harus dengan cara yang kamu bilang dulu. Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi menjadi diri kita lagi.
Keenan.
Hal. 46

Kenangan itu cuma hantu disudut pikir. Selama kita cuma diam dan nggak berbuat apa-apa, selamanya dia tetap jadi hantu. Nggak akan pernah jadi kenyataan.
Luhde.
Hal. 221

Hati kamu mungkin memilihku, seperti juga hatiku selalu memilihmu. Tapi hati bisa tumbuh dan bertahan dengan pilihan lain.
Pak Wayan
Hal. 299

Kalo itu memang betul kata hati kamu, ikuti saja. Nggak akan pernah mungkin salah.
Karel (kakak Kugy).
Hal. 405
Di tengah melimpahnya genre novel-novel populer remaja bertema cinta di pasar perbukuan, novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan baru untuk berbagi kisah yang memikat dan inspiratif yang sarat nilai-nilai renungan mendalam, jauh dari dangkal. Tak hanya soal cinta, tapi juga renungan soal relasi etis antarmanusia.


"Hati tak perlu memilih karena ia tahu ke mana dirinya akan berlabuh…"
(Dee_Perahu Kertas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar