“ TENTANG MALIN KUNDANG “
Judul
buku : Kumpulan
Cerpen Malam Terakhir
Judul
Cerpen : Tentang
Malin Kundang
Penulis : Leila S.
Chudori
Penerbit : PT Pustaka
Utama Grafiti
Tempat
dan tahun terbit : Jakarta 1989
Cetakan : I
Ukuran :
19 cm, xii + 208 hlm.
Leila S. Chudori lahir di Jakarta
tanggal 12 Desember 1962, pada akhir tahun 1970-an ia sudah dikenal sebagai
cerpenis remaja. Waktu itu ia masih SMP,
meskipun ia sudah menulis sejak kelas V SD. Memasuki dekade 1980-an,
karya-karyanya semakin memperlihatkan kematangan sebagai pengarang. Alumni
Universitas Trent, Ontario, Canada (1988) ini pernah bergabung dengan majalah Jakarta Jakarta, dan sekarang wartawan Tempo.
Leila bercerita tentang
kejujuran, keyakinan, tekad, prinsip, dan pengorbanan. Ia banyak mempergumamkan
simbol-simbol untuk memperkuat kesan suasana dan pemikiran yang hendak
dikemukakannya. Satu hal lain yang istimewa dalam cerpen-cerpen Leila ialah
bahwa ia tidak ragu-ragu menceritakan hal-hal yang tabu bagi masyarakat
tradisional. Gaya cerita Leila intelektual sekaligus puitis. Banyak ideom dan
metafor baru disamping pandangan falsafi yang terasa baru karena pengungkapan
yang baru. Sekalipun bermain dalam
khayalan lukisan-lukisannya sangat kasat mata. Beberapa fiksinya yang telah
dibukukan antara lain Hadiah (1976), Seputih Hati Andra (1981), dan Sebuah
Kejutan (1983).
Salah satu cerpen Leila yang
telah dibukukan dalam satu judul buku Kumpulan Cerpen Malam Terakhir adalah
“Tentang Malin Kundang”. Saat kita membaca atau mendengar kata Malin Kundang,
yang terbersit dipikiran kita adalah seorang anak yang durhaka terhadap ibunya.
Cerpen “Tentang Malin Kundang” memiliki akhir yag kurang lebih sama walau dalam
versi yang berbeda.
Cerpen ini bercerita tentang
seorang ibu yang memiliki 5 orang anak dengan fisik yang tidak sempurna. Sentot
anak lelaki pertamanya yang tak memiliki tangan kiri diajar untuk mandiri
dengan tangan kanannya. Dina yang tak mempunyai tangan kanan juga diajar untuk
dapat bertumpu pada tangan kirinya. Waluyo yang kehilangan kaki kiri diajar
untuk berjalan tanpa tongkat atau apa pun. Pada Gani yang kehilangan biji mata,
sang ibu tak lelah menyalakan rasa percaya diri, agar dunianya yang gelap
gulita jadi lebih terang. Dan pada si bungsu Kurdi yang bisu, sang ibu yakin bahwa berkomunikasi dalam diam sering
lebih berarti daripada dalam keriuhan.
Mereka tumbuh menjadi aak-anak
yang lucu, manis, cerdas, dan mengagumkan.sama atau bahkan lebih dari anak-anak
yang dianugrahi kesempurnaan fisik. Tak mudah membangun rasa percaya diri pada
kelima anak ini, karena setiap mata sempurna melihat kecacatan mereka. Dengan
penuh kesabaran sang ibu tetap menawarkan ide-ide atau cara-cara baru bagi
anak-anaknya untuk menanggulang hal-hal yang melukai eksistensi mereka.
Namun seiring berjalannya waktu
rasa iri dan dengki mulai tumbuh di hati mereka. Melihat anak-anak yang
memiliki fisik sempurna membuat mereka menginginkan kecacatan dalam diri setiap
orang. Keluhan yang mereka lontarkan tidak menghambat sang Ibu untuk tetap
membangkitkan rasa percaya diri mereka di depan anak-anak normal, bahkan untuk
membuktikan bahwa mereka sama dengan anak normal lainnya, sang ibu mengangkat
seorang anak yang bernama Kasandra sebagai salah satu bagian dari keluarga
mereka. Kasandra yang polos dan penuh tawa mencoba beradaptasi dengan
saudara-saudara angkatnya dan tak lupa mengabdi kepada sang Ibu angkatnya.
Setiap hari Kasandra menghabiskan waktu bersama ibu angkatnya. Seringkali anak
yang lain merasa risi dengan kehadiran anak itu. Bahkan apapun yang Kasandra lakukan
membuat kelima anak yang lain merasa tersinggung dan cemburu karena apa yang
dilakukan kasandra, tidak dapat mereka lakukan. Karena diliputi rasa cemburu,
mereka pun berencana untuk melepas
hubungan dengan ibu kandungnya. Karena menurut mereka sang ibu telah merubuhkan
rumah ketentraman yang selama ini mereka jaga. Semua kesalahan dan dosa
dilimpahkan kepada sang ibu.
Suatu malam mereka berlima
berencana untuk mengenyahkan ibu mereka dari muka bumi ini, agar segera menghapus fakta bahwa mereka adalah darah
daging sang ibu. Dengan mengenyahkan sang ibu mereka menganggap segala fakta yang
menjadi sejarah eksistensi mereka, telah mereka hapus, sehingga mereka tidak perlu
merasa berdosa untuk segera mengenyahkan ibunda yang mereka anggap sudah
menyia-nyiakan eksistensi mereka.
Dengan penuh semangat, mereka
mengaduk serpihan-serpihan racun kedalam cangkir teh yang biasa diminum sang
ibu petang hari. The itu diberikan kepada sang ibu yang hendak mengambil
keranjang sulam bersama Kasandra. Dengan wajah pucat dan jantung berdebar kelima
anak itu menyaksikan sang ibu meminum teh tersebut, namun tak ada reaksi
apapun. Sebaliknya mereka berlimalah yang merasakan efek racun tersebut.
Melihat hal itu, mereka marah karena
tidak berhasil melenyapkan sang ibu. Kurdi anak bungsu sang ibu kembali
menyodorkan secangkir teh yang berisi racun dan memaksa sang ibu untuk
meminumnya. Sang ibu sangat sedih melihat prilaku kelima anaknya yang tidak
memiliki rasa percaya diri dan rasa terima kasih. Namun apa yang kelima anak
itu harapkan tidak terjadi. Sag ibu masih tetap hidup, namun sebaliknya rucun
itu menggerogoti tubuh mereka. Sang ibu dan Kasandra kaget melihat mereka
menggelepar di lantai, apa lagi ketika tubuh kelima anak itu perlahan-lahan
mengeras dan membatu.
Cerpen ini merupakan salah satu
cerpen terbaik Leila. Dimana cerpen ini menggambarkan kehidupan manusia yang
mementingkan eksistensi, sekaligus menggambarkan bahwa tidak ada manuasia yang
sempurna. Leila mengkemas cerita ini dengan sangat apik membuat kita ingin
segera mengetahui akhir ceritanya. Selain itu, isi cerita sangat sesuai dengan
judul bahkan lebih menarik. Di cerpen ini tidak ditemukan adanya kesalahan
cetak pada kata, hal ini menunjukkan hasil pengeditan yang baik. Sayangnya
bahasa yang digunakan tidak cocok bagi orang awam dan pelajar SD serta SMP.
Gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa baku dan puitis. Sehingga orang susah
untuk memahaminya. Selain itu, sampul buku kurang menarik.
Namun dibandingkan karya
cerpennya yang lain seperti Paris,
dan Adila; cerpen Tentang Malin
Kundang tidak mengandung unsur yang berbau dewasa atau mengandung unsur
pergerakan untuk mencapai kebebasan seperti cerpen-cerpennya yang lain (Malam terakhir, Derap Tari Gumboot Di Atas
Air, dan Sebuah Buku Merah Dan Karbol,
dan lain-lain). Cerpen ini lebih mengandung unsure sosial yang nyata tentang
eksistensi dalam masyarakat dengan saling menghargai kecacatan setiap insan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar