Selasa, 08 April 2014

Resensi Cerpen : Tentang Malin Kundang



“ TENTANG MALIN KUNDANG “



Judul buku                               : Kumpulan Cerpen Malam Terakhir
Judul Cerpen                           : Tentang Malin Kundang
Penulis                                     : Leila S. Chudori
Penerbit                                   : PT Pustaka Utama Grafiti
Tempat dan tahun terbit            : Jakarta 1989
Cetakan                                   : I
Ukuran                                    : 19 cm, xii + 208 hlm.

Leila S. Chudori lahir di Jakarta tanggal 12 Desember 1962, pada akhir tahun 1970-an ia sudah dikenal sebagai cerpenis remaja.  Waktu itu ia masih SMP, meskipun ia sudah menulis sejak kelas V SD. Memasuki dekade 1980-an, karya-karyanya semakin memperlihatkan kematangan sebagai pengarang. Alumni Universitas Trent, Ontario, Canada (1988) ini pernah bergabung dengan majalah Jakarta Jakarta, dan sekarang wartawan Tempo.
Leila bercerita tentang kejujuran, keyakinan, tekad, prinsip, dan pengorbanan. Ia banyak mempergumamkan simbol-simbol untuk memperkuat kesan suasana dan pemikiran yang hendak dikemukakannya. Satu hal lain yang istimewa dalam cerpen-cerpen Leila ialah bahwa ia tidak ragu-ragu menceritakan hal-hal yang tabu bagi masyarakat tradisional. Gaya cerita Leila intelektual sekaligus puitis. Banyak ideom dan metafor baru disamping pandangan falsafi yang terasa baru karena pengungkapan yang baru. Sekalipun  bermain dalam khayalan lukisan-lukisannya sangat kasat mata. Beberapa fiksinya yang telah dibukukan antara lain Hadiah (1976), Seputih Hati Andra (1981), dan Sebuah Kejutan (1983).
Salah satu cerpen Leila yang telah dibukukan dalam satu judul buku Kumpulan Cerpen Malam Terakhir adalah “Tentang Malin Kundang”. Saat kita membaca atau mendengar kata Malin Kundang, yang terbersit dipikiran kita adalah seorang anak yang durhaka terhadap ibunya. Cerpen “Tentang Malin Kundang” memiliki akhir yag kurang lebih sama walau dalam versi yang berbeda.
Cerpen ini bercerita tentang seorang ibu yang memiliki 5 orang anak dengan fisik yang tidak sempurna. Sentot anak lelaki pertamanya yang tak memiliki tangan kiri diajar untuk mandiri dengan tangan kanannya. Dina yang tak mempunyai tangan kanan juga diajar untuk dapat bertumpu pada tangan kirinya. Waluyo yang kehilangan kaki kiri diajar untuk berjalan tanpa tongkat atau apa pun. Pada Gani yang kehilangan biji mata, sang ibu tak lelah menyalakan rasa percaya diri, agar dunianya yang gelap gulita jadi lebih terang. Dan pada si bungsu Kurdi yang bisu, sang ibu  yakin bahwa berkomunikasi dalam diam sering lebih berarti daripada dalam keriuhan.
Mereka tumbuh menjadi aak-anak yang lucu, manis, cerdas, dan mengagumkan.sama atau bahkan lebih dari anak-anak yang dianugrahi kesempurnaan fisik. Tak mudah membangun rasa percaya diri pada kelima anak ini, karena setiap mata sempurna melihat kecacatan mereka. Dengan penuh kesabaran sang ibu tetap menawarkan ide-ide atau cara-cara baru bagi anak-anaknya untuk menanggulang hal-hal yang melukai eksistensi mereka.
Namun seiring berjalannya waktu rasa iri dan dengki mulai tumbuh di hati mereka. Melihat anak-anak yang memiliki fisik sempurna membuat mereka menginginkan kecacatan dalam diri setiap orang. Keluhan yang mereka lontarkan tidak menghambat sang Ibu untuk tetap membangkitkan rasa percaya diri mereka di depan anak-anak normal, bahkan untuk membuktikan bahwa mereka sama dengan anak normal lainnya, sang ibu mengangkat seorang anak yang bernama Kasandra sebagai salah satu bagian dari keluarga mereka. Kasandra yang polos dan penuh tawa mencoba beradaptasi dengan saudara-saudara angkatnya dan tak lupa mengabdi kepada sang Ibu angkatnya. Setiap hari Kasandra menghabiskan waktu bersama ibu angkatnya. Seringkali anak yang lain merasa risi dengan kehadiran anak itu. Bahkan apapun yang Kasandra lakukan membuat kelima anak yang lain merasa tersinggung dan cemburu karena apa yang dilakukan kasandra, tidak dapat mereka lakukan. Karena diliputi rasa cemburu, mereka pun  berencana untuk melepas hubungan dengan ibu kandungnya. Karena menurut mereka sang ibu telah merubuhkan rumah ketentraman yang selama ini mereka jaga. Semua kesalahan dan dosa dilimpahkan kepada sang ibu.
Suatu malam mereka berlima berencana untuk mengenyahkan ibu mereka dari muka bumi ini, agar segera  menghapus fakta bahwa mereka adalah darah daging sang ibu. Dengan mengenyahkan sang ibu mereka menganggap segala fakta yang menjadi sejarah eksistensi mereka, telah mereka hapus, sehingga mereka tidak perlu merasa berdosa untuk segera mengenyahkan ibunda yang mereka anggap sudah menyia-nyiakan eksistensi mereka.
Dengan penuh semangat, mereka mengaduk serpihan-serpihan racun kedalam cangkir teh yang biasa diminum sang ibu petang hari. The itu diberikan kepada sang ibu yang hendak mengambil keranjang sulam bersama Kasandra. Dengan wajah pucat dan jantung berdebar kelima anak itu menyaksikan sang ibu meminum teh tersebut, namun tak ada reaksi apapun. Sebaliknya mereka berlimalah yang merasakan efek racun tersebut.
Melihat hal itu, mereka marah karena tidak berhasil melenyapkan sang ibu. Kurdi anak bungsu sang ibu kembali menyodorkan secangkir teh yang berisi racun dan memaksa sang ibu untuk meminumnya. Sang ibu sangat sedih melihat prilaku kelima anaknya yang tidak memiliki rasa percaya diri dan rasa terima kasih. Namun apa yang kelima anak itu harapkan tidak terjadi. Sag ibu masih tetap hidup, namun sebaliknya rucun itu menggerogoti tubuh mereka. Sang ibu dan Kasandra kaget melihat mereka menggelepar di lantai, apa lagi ketika tubuh kelima anak itu perlahan-lahan mengeras dan membatu.
Cerpen ini merupakan salah satu cerpen terbaik Leila. Dimana cerpen ini menggambarkan kehidupan manusia yang mementingkan eksistensi, sekaligus menggambarkan bahwa tidak ada manuasia yang sempurna. Leila mengkemas cerita ini dengan sangat apik membuat kita ingin segera mengetahui akhir ceritanya. Selain itu, isi cerita sangat sesuai dengan judul bahkan lebih menarik. Di cerpen ini tidak ditemukan adanya kesalahan cetak pada kata, hal ini menunjukkan hasil pengeditan yang baik. Sayangnya bahasa yang digunakan tidak cocok bagi orang awam dan pelajar SD serta SMP. Gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa baku dan puitis. Sehingga orang susah untuk memahaminya. Selain itu, sampul buku kurang menarik.
Namun dibandingkan karya cerpennya yang lain seperti Paris, dan Adila; cerpen Tentang Malin Kundang tidak mengandung unsur yang berbau dewasa atau mengandung unsur pergerakan untuk mencapai kebebasan seperti cerpen-cerpennya yang lain (Malam terakhir, Derap Tari Gumboot Di Atas Air, dan Sebuah Buku Merah Dan Karbol, dan lain-lain). Cerpen ini lebih mengandung unsure sosial yang nyata tentang eksistensi dalam masyarakat dengan saling menghargai kecacatan setiap insan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar